Kesaksian Ahok, “Wakil Gubernur Jakarta”
Kesaksian Basuki
Tjahaja Purnama
Saya lahir di
Gantung, desa Laskar Pelangi, di Belitung Timur, di dalam keluarga yang belum
percaya kepada Tuhan. Beruntung sekali sejak kecil selalu dibawa ke Sekolah
Minggu oleh kakek saya. Meskipun demikian, karena orang tua saya bukan seorang
Kristen, ketika beranjak dewasa saya jarang ke gereja.
Saya melanjutkan
SMA di Jakarta dan di sana mulai kembali ke gereja karena sekolah itu merupakan
sebuah sekolah Kristen. Saat saya sudah menginjak pendidikan di Perguruan
Tinggi, Mama yang sangat saya kasihi terserang penyakit gondok yang
mengharuskan dioperasi. Saat itu saya walaupun sudah mulai pergi ke gereja,
tapi masih suka bolos juga. Saya kemudian mengajak Mama ke gereja untuk
didoakan, dan mujizat terjadi. Mama disembuhkan oleh-Nya! Itu merupakan titik
balik kerohanian saya. Tidak lama kemudian Mama kembali ke Belitung, adapun
saya yang sendiri di Jakarta mulai sering ke gereja mencari kebenaran akan
Firman Tuhan.
Suatu hari, saat kami sedang sharing di gereja pada malam Minggu, saya mendengar Firman Tuhan dari seorang penginjil yang sangat luar biasa. Ia mengatakan bahwa Yesus itu kalau bukan Tuhan pasti merupakan orang gila. Mana ada orang yang mau menjalankan sesuatu yang sudah jelas tidak mengenakan bagi dia? Yesus telah membaca nubuatan para nabi yang mengatakan bahwa Ia akan menjadi Raja, tetapi Raja yang mati di antara para penjahat untuk menyelamatkan umat manusia, tetapi Ia masih mau menjalankannya! Itu terdengar seperti suatu hal yang biasa-biasa saja, tetapi bagi saya merupakan sebuah jawaban untuk alasan saya mempercayai Tuhan. Saya selalu berdoa “Tuhan, saya ingin mempercayai Tuhan, tapi saya ingin sebuah alasan yang masuk akal, cuma sekedar rasa doang saya tidak mau," dan Tuhan telah memberikan PENCERAHAN kepada saya pada hari itu. Sejak itu saya semakin sering membaca Firman Tuhan dan saya mengalami Tuhan.
Setelah saya
menamatkan pendidikan dan mendapat gelar Sarjana Teknik Geologi pada tahun
1989, saya pulang kampung dan menetap di Belitung. Saat itu Papa sedang sakit
dan saya harus mengelola perusahaannya. Saya takut perusahaan Papa bangkrut,
dan saya berdoa kepada Tuhan. Firman Tuhan yang pernah saya baca yang dulunya
tidak saya mengerti, tiba-tiba menjadi rhema yang menguatkan dan mencerahkan,
sehingga saya merasakan sebuah keintiman dengan Tuhan. Sejak itu saya
kerajingan membaca Firman Tuhan. Seiring dengan itu, ada satu kerinduan di hati
saya untuk menolong orang-orang yang kurang beruntung.
Papa saat masih
belum percaya Tuhan pernah mengatakan, “Kita enggak mampu bantu orang miskin
yang begitu banyak. Kalau satu milyar kita bagikan kepada orang akhirnya akan
habis juga.” Setelah sering membaca Firman Tuhan, saya mulai mengerti bahwa
charity berbeda dengan justice. Charity itu seperti orang Samaria yang baik
hati, ia menolong orang yang dianiaya. Sedangkan justice, kita menjamin orang
di sepanjang jalan dari Yerusalem ke Yerikho tidak ada lagi yang dirampok dan
dianiaya. Hal ini yang memicu saya untuk memasuki dunia politik.
Pada awalnya saya
juga merasa takut dan ragu-ragu mengingat saya seorang keturunan yang biasanya
hanya berdagang. Tetapi setelah saya terus bergumul dengan Firman Tuhan, hampir
semua Firman Tuhan yang saya baca menjadi rhema tentang justice. Termasuk di
Yesaya 42 yang mengatakan Mesias membawa keadilan, yang dinyatakan di dalam
sila kelima dalam Pancasila. Saya menyadari bahwa panggilan saya adalah
justice. Berikutnya Tuhan bertanya, "Siapa yang mau Ku-utus?" Saya
menjawab, “Tuhan, utuslah aku”.
Di dalam segala
kekuatiran dan ketakutan, saya menemukan jawaban Tuhan di Yesaya 41. Di situ
jelas sekali dibagi menjadi 4 perikop. Di perikop yang pertama, untuk ayat 1-7,
disana dikatakan Tuhan membangkitkan seorang pembebas. Di dalam Alkitab
berbahasa Inggris yang saya baca (The Daily Bible – Harvest House Publishers),
ayat 1-4 mengatakan God’s providential control, jadi ini semua berada di dalam
kuasa pengaturan Tuhan, bukan lagi manusia. Pada ayat 5-10 dikatakan Israel
specially chosen, artinya Israel telah dipilih Tuhan secara khusus. Jadi bukan
saya yang memilih, tetapi Tuhan yang telah memilih saya. Pada ayat 11-16
dikatakan nothing to fear, saya yang saat itu merasa takut dan gentar begitu
dikuatkan dengan ayat ini. Pada ayat 17-20 dikatakan needs to be provided,
segala kebutuhan kita akan disediakan oleh-Nya. Perikop yang seringkali hanya
dibaca sambil lalu saja, bisa menjadi rhema yang menguatkan untuk saya. Sungguh
Allah kita luar biasa.
Di dalam
berpolitik, yang paling sulit itu adalah kita berpolitik bukan dengan merusak
rakyat, tetapi dengan mengajar mereka. Maka saya tidak pernah membawa makanan,
membawa beras atau uang kepada rakyat. Tetapi saya selalu mengajarkan kepada
rakyat untuk memilih pemimpin: yang pertama, bersih yang bisa membuktikan
hartanya dari mana. Yang kedua, yang berani membuktikan secara transparan semua
anggaran yang dia kelola. Dan yang ketiga, ia harus profesional, berarti
menjadi pelayan masyarakat yang bisa dihubungi oleh masyarakat dan mau
mendengar aspirasi masyarakat. Saya selalu memberi nomor telepon saya kepada
masyarakat, bahkan saat saya menjabat sebagai bupati di Belitung. Pernah satu
hari sampai ada seribu orang lebih yang menghubungi saya, dan saya menjawab
semua pertanyaan mereka satu per satu secara pribadi. Tentu saja ada staf yang
membantu saya mengetik dan menjawabnya, tetapi semua jawaban langsung berasal
dari saya.
Pada saat saya
mencalonkan diri menjadi Bupati di Belitung juga tidak mudah. Karena saya
merupakan orang Tionghoa pertama yang mencalonkan diri di sana. Dan saya tidak
sedikit menerima ancaman, hinaan bahkan cacian, persis dengan cerita yang ada
pada Nehemia 4, saat Nehemia akan membangun tembok di atas puing-puing di
tembok Yerusalem.
Hari ini saya
ingin melayani Tuhan dengan membangun di Indonesia, supaya 4 pilar yang ada,
yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya wacana
saja bagi Proklamator bangsa Indonesia, tetapi benar-benar menjadi pondasi
untuk membangun rumah Indonesia untuk semua suku, agama dan ras. Hari ini
banyak orang terjebak melihat realita dan tidak berani membangun. Hari ini saya
sudah berhasil membangun itu di Bangka Belitung. Tetapi apa yang telah saya
lakukan hanya dalam lingkup yang relatif kecil. Kalau Tuhan mengijinkan, saya
ingin melakukannya di dalam skala yang lebih besar.
Saya berharap,
suatu hari orang memilih Presiden atau Gubernur tidak lagi berdasarkan warna
kulit, tetapi memilih berdasarkan karakter yang telah teruji benar-benar
bersih, transparan, dan profesional. Itulah Indonesia yang telah dicita-citakan
oleh Proklamator kita, yang diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan nyawa.
Tuhan memberkati Indonesia dan Tuhan memberkati Rakyat Indonesia.
A M I N